Beranda | Artikel
Hukum Paytren (Bagian 04)
Rabu, 12 April 2017

Hukum Paytren (Bagian 04)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Islam mencegah setiap celah munculnya penipuan, penyesalan sepihak, ketidak nyamanan dalam setiap transaksi yang dilakukan. Karena itulah, islam melarang adanya gharar (ketidak-jelasan) dalam transaksi.  Dalam transaksi di masa silam, bentuk gharar cukup jelas terlihat. Seperti ba’i mulamasah, munabadzah, atau ijon untuk buah yang belum layak dipanen[1].

Lain halnya dengan transaksi kontemporer. Mengingat teori Opportunity is Market (peluang pasar adalah pasar), kebanyakan sisi gharar (ketidak-jelasan) terletak pada peluang pasar. Karena itulah, peluang pasar di zaman kita dijual. Mulai dari asuransi, MLM, bisnis afiliasi, dan semacamnya, semua yang dijual adalah peluang pasar. Terlebih transaksi modern lebih banyak didominasi di dunia maya, dan lebih menekankan transaksi tidak tunai. Sehingga keberadaan barang dan jasa menjadi tidak signifikan.

Apapun itu, baik gharar kuno, maupun gharar modern, semua memiliki titik kesamaan, sama-sama tidak jelas objek akadnya. Karena semua bergantung pada peluang. Sehingga ada kemungkinan untung atau sebaliknya, mengalami kerugian.

Saya sangat memahami, tulisan saya mengenai hukum Paytren belum tentu bisa diterima oleh para penggiat Paytren.

Setelah tulisan ini dipublis, ada banyak pembelaan yang mereka sampaikan dan dilaporkan ke saya.

Sengaja tulisan bagian keempat ini tertunda untuk mengumpulkan setiap pembelaan yang terkait. Karena bagian keempat ini disiapkan untuk menjawab pembelaan itu.

Berikut diantaranya,

[1] Bukankah hukum asal transaksi itu mubah?

Saya rasa kita semua sepakat akan hal ini, bahwa hukum asal transaksi jual beli adalah mubah. Ada tulisan mengenai kaidah ini, bisa anda simak di: Kaidah dalam Fikih Jual Beli

Hanya saja, Anda perlu beri catatan, hukum asal transaksi jual beli itu mubah, selama tidak ada unsur pelanggaran syariat.

Ketika di sana ada pelanggaran syariat, anda tidak bisa menggunakan kaidah ini sebagai dalil. Karena tidak nyambung. Kita dihalalkan untuk bertransaksi, tapi aktivitas dan transaksi kita juga dibatasi aturan.

[2] Apa salahnya MLM?

Yang salah bukan namanya atau barangnya.. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apa yang anda jual?

Mayoritas MLM tidak menekankan pada penjualan produk, namun lebih menekankan menjual peluang pasar. Seseorang dikatakan produktif, jika dia bisa mendapatkan banyak downline, dari pada menjual produknya.

Karena itulah, pada kebanyakan MLM, produk hanya sampingan. Banyak diantara mereka yang tidak butuh produk, namun termotivasi daftar hanya untuk bisa mendapatkan fee mencari downline.

[3] Antara MLM dan Konvensional

“Mengikuti sistem konvensional itu rugi. Satu-satunya sistem yang bisa membuat kita berbagi keuntungan adalah sistem MLM.”

Terlalu sentimen jika sistem konvensional disebut merugikan. Karena sistem ini yang dijalankan sejak masa silam. Bahkan sudah ada sejak zaman para sahabat. Jika ini merugikan, tentu mereka akan melarangnya.

Kita bisa pindah ke analogi yang sering digunakan untuk membela MLM…

[4] Analogi jualan buku…

“Ketika si A membeli buku dari toko X, karena isinya bagus, si A memberi tahu kepada si B agar membeli buku yang sama, dapat apakah si A? Bahkan andai setelah dari si B terjadi 1000 transaksi, tentu sudah sewajarnya, si A mendapat fee pemasaran.”

Ada analogi, dan ada kesesuaian analogi dengan kasus. Analogi ini tidak salah, karena setiap usaha yang manfaat, berhak mendapat penghargaan. Termasuk usaha memasarkan barang milik orang lain. Dalam kajian fiqh muamalah, fee pemasaran telah difatwakan boleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama tabiin, seperti Muhammad bin Sirin dan yang lainnya. Usaha itu disebut samsarah (makelaran). Pelakunya disebut simsar (makelar).

Dalam shahih Bukhari dinyatakan,

ولم ير ابن سيرين وعطاء وإبراهيم والحسن بأجر السمسار بأسا

“Menurut Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim an-Nakhai, dan Hasan al-Bashri, upah makelar tidak masalah.”

وقال ابن عباس لا بأس أن يقول بع هذا الثوب فما زاد على كذا وكذا فهو لك

Ibnu Abbas mengatakan, ‘Tidak masalah pemilik barang mengatakan, ‘Jualkan kain ini, jika laku lebih dari sekian, maka kelebihannya milik kamu.’ (Shahih Bukhari, 2/794).

Hanya saja, kita perlu membedakan  objek dalam akad, antara produk riil dan produk yang bentuknya peluang pasar. Analogi toko buku, ini produk riil, jika buku itu benar-benar dibutuhkan konsumen. Ini sangat berbeda dengan Paytren. Dalam Paytren, dipisahkan antara harga produk dengan harga peluang pasar. Karena itu dalam Paytren dibedakan antara mitra pengguna dengan mitra pebisnis.

Ketika si A membeli buku, toko X memberikan 2 penawaran harga,

[1] Harga buku saja à Rp 50.000

[2] Harga buku, plus hak untuk memasarkan à Rp 65.000; di mana si A akan mendapatkan fee 10% dari setiap pembeli baru.

Dalam klausul no.2, toko X menjual peluang pasar. Dan bisa jadi, si A tidak ada keinginan untuk memiliki buku itu. Tapi dia rela beli karena ada peluang mendapatkan fee ketika ada pembeli baru. Saya kira, kita tidak perlu mengulang sisi gharar Paytren yang pernah kita bahas di: Hukum Paytren (Bagian-3)

Bagi orang yang memahami konsep gharar, dia akan melihat dengan sangat jelas sisi gharar transaksi di atas.

[5] Bukankah Paytren telah mendapatkan sertifikat dari MUI?

Bagian ini yang paling sulit untuk dijawab. Karena kami tidak tahu tingkat kebenaran dari berita ini. Kami berusaha mencari-cari bukti sertifikat itu, dan kami belum mendapatkannya. Padahal ini salah satu senjata pemasaran Paytren.

Yang kami jumpai adalah fatwa DSN-MUI no.75/2009 tentang PLBS (Penjualan Langsung Berjenjang Syariah).

Fatwa ini diterbitkan tahun 2009, dan Paytren belum lahir. Karena Paytren hadir tahun 2013.

Dan anda bisa bandingkan antara isi fatwa dengan realita Paytren. insyaaAllah kita akan membahas khusus kesesuaian fatwa dengan realita Paytren.

[6] Kami ingin sedekah, kami ingin membeli Indonesia

Seharusnya kita malu bersembunyi di balik motivasi indah untuk membela bisnis bermasalah… dulu waktu VSI dipasarkan, jargon mereka adalah bisa sambil sedekah, kita beli Indonesia.. bagaimana kelanjutannya?? VSI tidak ada kabar. Meskipun kita bisa memahami, VSI dengan Paytren core-bisnis nya hampir sama.

Semoga Allah membimbing kita untuk bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan memudahkan bagi kita untuk mengikutinya… amin.

Allahu a’lam.

[1] mengenai keterangan masing-masing, bisa dipelajari di Hukum Paytren Bag. 1

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/29401-hukum-paytren-bagian-04.html